Iklan

Kisah Teungku Abu Ibrahim Woyla Saat Tsunami Aceh

REDAKSI
3/25/22, 08:31 WIB Last Updated 2022-03-25T01:31:12Z
News Of Aceh - Sebelum terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan: “Air laut bakal naik sampai setinggi pohon kelapa.” Terbukti setelahnya terjadi bencana tsunami.

Tepatnya 15 hari sebelum bencana besar gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Abu Ibrahim Woyla telah mengabarkan kepada muridnya yang bernama Mukhlis perihal akan datangnya bencana besar itu.

Namun, hanya kepada dua muridnya yang kerap mengikutinya ia beritahukan dan ia melarang memberitahukannya kepada orang lain. Hanya saja Mukhlis diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya menjauhi bibir pantai.

Mukhlis, pria yang sudah berkepala tiga yang kini sering bermukim di Dayah Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali keseharian Abu sebelum Tsunami meluluhlantakkan Aceh. Abu tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang makan dan terlihat gusar. Pernah suatu waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk memberitahukan perihal bencana besar. Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di Dayah Peulanteu, Aceh Barat. “Rayeuk that buet uke nyoe, siberangkaso yang buka rahasia Allah maka kafee lah jih kafee (besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja yang membuka rahasia Allah maka dia kafir),” begitu kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim kepadanya.

Mukhlis juga mendengar hal yang sama dari Abu Utsman yang masih ada hubungan dekat dengan Abu Ibrahim Woyla. Bahkan kepada orangtuanya sendiri Mukhlis tidak memberitahukan apa yang sudah ia ketahui. “Di lapangan Blang Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue) akan na kapai laot ubee lapangan bola, dalam kapai nyan ureung puteh-puteh” (di Bandara Blang Bintang pesawat akan terbang siang malam, di laut Ulee Lhee akan ada kapal laut sebesar lapangan bola, di dalamnya orang putih-putih-red), ucap Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu Utsman.

Kata Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim, keseharian Abu seperti berubah. Bahkan jika sedang tidur malam hari, sering Abu tiba-tiba terbangun dan langsung duduk berdzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis pun semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau peristiwa besar sudah semakin dekat. “Lon kalon dari sikap Abu, lon na firasat sang ata yang geupeugah le Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan Abu sudah sangat dekat),” jelas Mukhlis.

Entah apa yang terpikirkan oleh Abu, 4 hari sebelum gempa bumi dan Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka menginap di salah satu rumah di kawasan Blower. “Na geulakee le po rumoh beu geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh gob nyan (ada permintaan dari yang punya rumah agar Abu Ibrahim berkenan bermalam semalam saja di rumahnya),” kata Mukhlis.

Mukhlis menambahkan, saat di sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga bagian. Setelah Abu makan sedikit satu bagian dari kepalan nasinya, kemudian seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk dimakan.

Pada esoknya, Kamis pagi 23 Desember  2006, Abu berkata kepada Mukhlis jika ia ingin jalan-jalan keliling Kota Banda Aceh. Tanpa membantah, dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun membawa Abu jalan-jalan.

Setelah sarapan alakadarnya di warung samping Sinbun Sibreh (dulu deretan Satnarkoba Polda Aceh), lalu Abu meminta Mukhlis untuk membawanya ke kawasan Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar pagar masjid. “Abu geu ngeing u arah makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu teungoh geupeugah haba, kadang Abu teukhem keudroe” (Abu menatap ke arah makam Tgk Di Anjong, seolah-olah Abu berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri), jelas Mukhlis.

Usai singgah di makam Tgk Di Anjong, Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Abu melanjutkan perjalanan ke arah Gampong Jawa. Saat dalam perjalanan, ada seorang wanita paruh baya yang mengenal Abu. Spontan wanita tersebut memanggil Abu dan meminta Abu untuk singgah di rumahnya. Rombongan Abu Woyla kemudian memenuhi permitaan dan singgah di rumah wanita tersebut.

Wanita pemilik rumah itu, kata Mukhlis, menginginkan anaknya untuk minum air yang dicelupkan dengan musabah Abu Ibrahim. “Sampai di rumah wanita tersebut, kami disajikan kopi, tetapi airnya sangat panas hingga kami tidak sempat minum. Tapi Abu langsung meminumnya walau airnya masih panas. Setelah itu Abu menyelupkan musabahnya ke dalam air yang akan diberikan kepada anak wanita tersebut,” kata Mukhlis.

Tak beberapa lama di rumah wanita itu, Abu dan Mukhlis kemudian melanjutkan perjalanan  dari  Gampong Jawa dan kembali ke arah Peunayong, seterusnya sampai di depan RSUZA, Jalan T Nyak Arief. Di tempat itu Abu Ibrahim kemudian meminta kepada Mukhlis untuk mengarahkan kenderaan mereka ke Masjid Raya Baiturrahman.

Dalam sekejap saja, mobil yang dikendarai Mukhlis sudah berada di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana mobil dihentikan sesuai permintaan Abu. Dari dalam mobil, dengan kaca terbuka Abu menatap ke arah mesjid sembari melambaikan tangannya dengan gerakan arah telapak tangannya ke bawah. “Berkali-kali Abu melakukan itu,” ujar Mukhlis.

“Di akhir Abu menggerakkan tangannya tiga kali menghadap masjid raya, seperti tanda memotong sesuatu,” tiru Mukhlis dengan gerakan tangannya dari arah kiri ke kanan.

Usai perjalanan singkat tersebut, Abu langsung kembali ke tempat ia menginap dan mengatakan kepada Mukhlis, jika Abu malam nanti akan berangkat ke Padang, Sumatra Barat. Sebelum berangkat, Mukhlis memohon izin kepada Abu bahwa ia tidak bisa menemani Abu ke Padang karena ia baru berkeluarga. “Menyoe meunan Do’a bak lon” (kalau begitu doa dari saya), ujar Mukhlis mengulang perkataan Abu kepadanya kala itu.

Dua hari setelahnya, Tsunami meluluhlantakkan Aceh begitu dahsyatnya. Namun kata Mukhlis, gelombang Tsunami yang datang pada 26 Desember 2004 lalu itu, sepertinya berhenti di seputaran kawasan Abu Ibrahim Woyla jalan-jalan di Banda Aceh sebelum Tsunami itu terjadi.

Setelah itu, Mukhlis pun tidak lagi mengetahui kegiatan Abu hingga gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh. Baru pada hari keempat setelah kejadian yang menewaskan ratusan ribu umat manusia itu, Mukhlis bertemu kembali dengan Abu di salah satu rumah di kawasan Geuceu Komplek, Banda Aceh.

Setelah bertemu di sana, pada sore hari Abu mengajak Mukhlis jalan-jalan ke Lhoknga. Kembali Mukhlis meminjam sebuah mobil milik kerabatnya yang juga mengenal Abu Ibrahim Woyla. Setibanya di kawasan Peukan Bada, Mukhlis melihat tumpukan sampah Tsunami yang belum dibersihkan dan masih ada mayat-mayat bergeletakan di sekitar mereka.

Melihat kondisi medan yang tidak mungkin dilewati, Mukhlis mengadu kepada Abu jika tidak mungkin mobil melewati jalan, karena masih banyak puing Tsunami dan benda tajam lain yang menghambat laju kenderaan mereka. “Hana peu-peu, tajak laju” (tidak masalah, jalan saja), begitu kata Abu ujar Mukhlis saat ia mengadu.

Mendengar kata Abu, Mukhlis pun terus mengendarai kendaraannya melewati puing Tsunami yang logikanya tidak mungkin dilewati oleh kendaraan. Mereka terus berjalan hingga ke jembatan yang terputus di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.

Setiba di sana, mereka berjumpa dengan seorang wanita yang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla. Wanita itu menceritakan, dalam musibah itu suaminya menjadi korban dan sampai hari keempat setelah Tsunami ia belum bertemu dan mengetahui nasib suaminya itu. Lantas wanita itu meminta Mukhlis untuk menanyakan kepada Abu Ibrahim, bagaimana perihal nasib suaminya yang diseret arus Tsunami.

Melalui Mukhlis, Abu menjawab singkat pertanyaan wanita tersebut: “Suaminya sedang jalan-jalan jauh.”

Di tempat itu, Abu Ibrahim bersama Mukhlis berada hingga langit mulai merah dan matahari akan tenggelam.

Kini, Mukhlis dengan beberapa rekannya hanya mengurusi dan membangun Dayah Bustanul Huda Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh Jaya. Penuturan lelaki ramah dan berilmu agama ini, Dayah tempat dirinya dan santri lain memperdalam ilmu Islam sekarang ini, dibangun pada tahun 2006 silam. Dan pesan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya adalah: “Amanah Abu, bek meulake bak gop keu peudong dayah, peulaku ubee sangguop” (Amanah Abu, jangan meminta-minta untuk mendirikan dayah, kerjakan sesuai kesanggupan), tegas Mukhlis menirukan ucapan Abu..
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kisah Teungku Abu Ibrahim Woyla Saat Tsunami Aceh

Terkini

Adsense